Apakah Zero Waste itu Mungkin?

Pengelolaan sampah merupakan salah satu tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dan Global. Pada tahun 2015, Indonesia tercatat sebagai kontributor global kedua untuk polusi plastik di lautan, baik dari sampah yang tidak berhasil dikelola (Jambeck, 2015) maupun dari sungai (Lebreton, 2017). Pemerintah Indonesia menyatakan inisiatifnya untuk menyelesaikan permasalahan sampah plastik ini dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 (Jakstranas Pengelolaan Sampah RT dan Sejenis RT) untuk mencapai target pengurangan sampah sebesar 30 % dan penanganan sampah sebesar 70%. Namun, dalam lampiran peraturan ini, pemerintah berencana untuk membangun 45 teknologi termal pada tahun 2025 termasuk: 14 PLTSa, 19 LFG, dan 10 RDF. Melalui Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, Pemerintah Indonesia akan membangun 12 PLTSa di 12 Kota Indonesia untuk mencapai target Jakstranas dan Jakstrada. Sekilas, tidak ada perbedaan signifikan dari Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah yang telah dibatalkan oleh Koalisi Nasional Tolak Bakar. Penambahan penggunaan kata “ramah lingkungan” dalam Perpres yang baru ini dianggap tidak akan menyelesaikan tantangan sampah di Indonesia, terlebih dengan dampak berbahaya yang ditimbulkan dari pembangunan PLTSa. Standar lingkungan teknologi PLTSa di Indonesia jauh lebih rendah dan lebih longgar daripada standar internasional. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P no. 15 tahun 2019 tentang Standar Kualitas untuk Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal, indikator emisi dioksin dan furan hanya akan diuji setiap 5 (lima) tahun sekali. Selain itu saat ini belum adanya laboratorium yang dapat menganalisa dioksin dan pencemar organik yang persisten lainnya di Indonesia. Laporan awal yang dirilis Nexus3, Ecoton, dan Arnika sebagai jaringan IPEN mengungkapkan temuan yang mencengangkan bagi publik Indonesia: dioksin dengan konsentrasi tertinggi kedua di Asia ditemukan dalam telur ayam buras di Desa Tropodo akibat pembakaran sampah plastik. Tanpa kontrol dan regulasi yang ketat dalam mengendalikan dioksin, merkuri, dan bahan-bahan berbahaya dan beracun lainnya, resiko dan ancaman kesehatan masyarakat dan lingkungan dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dapat diprediksikan meningkat tajam. Dari segi pembiayaan, pemerintah Indonesia mengandalkan APBN/APBD yang sebenarnya sangat terbatas. Biaya yang dibutuhkan tidak hanya untuk membangun tetapi juga untuk operasionalisasi misalnya untuk pengendalian pencemaran udara (Air Pollution Control/APC Unit) juga biaya yang di-eksternalisasi-kan sebelum dan sesudah kegiatan pembakaran (pengumpulan dan pengangkutan, pemilahan/pre-treatment, pengelolaan FABA setelah pembakaran. Selain dari APBN/APBD. Pemerintah Indonesia juga mengandalkan investasi asing berbagai negara maupun lembaga keuangan. Banyak institusi yang berasal dari Eropa juga membiayai proyek insinerator di Indonesia, padahal baru-baru ini European Union (EU) telah sepakat untuk mengeluarkan insinerator dari daftar proyek yang dianggap berkelanjutan dan tidak sesuai dengan kerangka mitigasi iklim juga circular economy EU Sehingga, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Daerah harus berhati-hati dan waspada dengan investasi ini untuk memastikan bahwa keselamatan lingkungan menjadi catatan utama dalam implementasinya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *