Penambangan batu gamping di wilayah Kendeng Utara yang dilakukan oleh PT. Semen Indonesia dengan estimasi omzet sekitar Rp.3 triliun pertahun, terus mendapat gelombang penolakan oleh masyarakat sekitar. Warga Pegunungan Kendeng Utara yang mayoritas mata pencahariannya petani, khawatir penambangan tersebut akan merusak lingkungan dan menghilangkan sumber air. Lokasi penambangan yang di identifikasi masuk wilayah Cekungan Air Tanah(CAT) Watuputih, dinilai telah mengabaikan Keppres terkait wilayah CAT.
Berdasarkan data investigasi TEMPO, terdapat banyak kejanggalan dalam penetapan Amdal terkait aktifitas penambangan tersebut. Dalam Perda dijelaskan bahawa penambangan dapat dilakukan dengan batasan luas 205 hektare, jumlah tersebut jauh lebih kecil dari area konsesi semen Indonesia yang mencapai 520 hektare. Amdal yang sama menyatakan dalam lokasi tambang karst Semen Indonesia tak terdapat gua, mata air, ataupun sungai bawah tanah. Namun dalam investigasi TEMPO di lapangan , dengan didampingi perwakilan warga, tidak sulit menemukan gua, ponor, dan mata air dalam area izin usaha pertambangan. Selain itu, Dwi Sasongko peneliti dari Universitas Diponegor Semarang, mengatakan namanya dicantumkan sebagai narasumber ahli ilmu lingkungan dalam Amdal tanpa pemberitahuan.
Berbagai kejanggalan tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan, atas pernyataan dari direktur PT. Semen Indonesia, BLH Jateng ataupun Gubernur Jateng, yang menyatakan bahwa penambangan sudah dilaksanakan sesuai prosedur dan bersifat terukur. “Investigasi Pabrik Semen Kendeng, Rembang” yang dikeluarkan TEMPO, merupakan salah satu koleksi digital Pusat Dokumentasi HAM (PUSDOKHAM). Data investigasi ini mencoba menguak fakta terkait izin tambang, Amdal, Sumber mata air, hewan endemik, goa karst , perjuangan penduduk kendeng, hingga wawancara singkat dengan direktur utama PT. Semen Indonesia. Data ini dapat diakses hanya dengan mengunjungi PUSDOKHAM.