[:id][su_slider source=”media: 1097,1098,1102,1100,1101,1103,1104,1105″ target=”blank” width=”700″ height=”700″ pages=”no” mousewheel=”no” autoplay=”0″]
Gunung Nemangkawi dalam peradaban suku Amungme merupakan simbol hidup yang sakral. 95% dari lahan sumberdaya mineral yang ditambang freeport, terdapat di atas tanah adat marga Magal-Nartkime yang merupakan pemilik sulung dari Nemangkawi. Salju, jajaran bukit, dan hewan-hewan endemik penghuni Nemangkawi, sudah tak terlihat lagi, berganti truck pengangkut mineral mentah yang hilir mudik menuruni cekungan di atas bumi Papua, tidak terkira emas, tembaga, atau bahkan uranium yang berhasil dikeruk. Kondisi tersebut menjadi ironis karena tidak memberikan kontribusi secara signifikan terhadap kemajuan masyarakat Papua dari segala lingkup sosial,ekonomi bahkan budaya.Terhitung kurun waktu 50 tahun kehadiran Freeport di Papua, seakan hanya memberi ruang eksploitasi dan pelanggaran hak-hak sipil, khususnya bagi masyarakat adat setempat.
Markus Haluk, menulis buku ini secara kronologis, mencoba memaparkan bagaimana fakta dan analisa data terkait Freeport sebagai perusahaan tambang telah merampas hak-hak masyarakat adat suku amungme dan sekitarnya. Berbagai manuver politik dilanggengkan untuk memperkokoh legitimasi kekuasaan, bahkan memecah belah suku-suku setempat. Dalam buku ini disajikan berbagai situasi dan kondisi yang terjadi di tanah papua, yang jarang atau bahkan jauh dari lirikan media.
Harapan dari penulis, buku ini dapat mendorong perundingan untuk menyelesaikan konflik tanah ulayat Amungme dan Freeport,serta pengakuan identitas, harga diri dan kesetaraan hak asasi Suku Amungme. Buku “Menggugat Freeport”, dapat diakses di PUSDOKHAM UBAYA, Jalan Raya Kalirungkut, Gedung Perpustakaan UBAYA, lt.4, Pada jam operasional pukul 08.00- 16.30 WIB, hari senin hingga jumat.[:]